Indonesian Fiction/fiksi Indonesia | Prosa Indonesia
Bahasa :
Indonesia
Jumlah Eksemplar :
1
Sinopsis :
Kata Papa, setiap orang pasti akan diberi tempat untuk kesedihannya. Selayaknya semangkuk gado-gado di pinggir jalan, meski nggak semua pembeli dapat siraman saus kacang yang sama banyaknya, tapi porsi sayuran, tempe, tahu, telur, dan kentang rebus tetap akan menyempurnakan rasanya.
Berawal dari dirinya yang tanpa sengaja mendapati seonggok ruko sempit yang nyaris tak terlihat di sebuah persimpangan jalan yang letaknya tak jauh dari rumah, Hadian jadi dipertemukan dengan semangkuk gado-gado-nya. Warna bangunan itu ungu temaram dan hampir selalu ada truk-truk besar yang menutupinya. Seonggok spanduk hitam dengan desain aneh–yang entah bertuliskan apa–terpasang di atas pintu kaca, nampak seperti manusia berponi kalau dilihat dari kejauhan.
Hadian pikir bangunan itu semacam penatu yang dicat dengan warna norak agar makin memikat mata ibu-ibu komplek penggemar warna ungu militan yang malas cuci pakaian. Tapi rupanya bukan, bangunan itu diperuntukkan untuk dirinya.
Seorang perempuan yang elemen hidupnya nggak jauh-jauh dari menggambar dan bertani tiba-tiba ikut campur dalam hari-hari penuh ketidakhokiannya. Hadian menatap gambar pada halaman 12 dalam sebuah majalah anak beken keluaran tahun 2009.
“Itu Anggi. Ada pohon flamboyan dan bunga pukul empat di dekat rumahnya. Ada sawah yang besar dan subur di kampung halamannya. Anggi ingin menjadi petani yang berbudi pekerti. Anggi ingin semua orang bisa tahu bahwa menjadi petani itu menyenangkan dan baik untuk bumi.” Gambar milik Anggita Ayu Radisti. Depok, 10 tahun.